Samakah Ujub (Bangga Diri) dengan Narsis? (bagian 3/3)

Kesamaan Narsis dan Ujub
ilustrasi
Pertanyaannya, apakah dalam gejala-gejala narsisme ini sama dengan istilah ujub yang termasuk dalam akhlak tercela? Dalam hidup, manusia akan senantiasa dihadapkan ujian oleh Allah. Ujian itu bisa berubah hal-hal yang sifatnya positif dalam pandangan manusia atau hal yang negatif seperti musibah. Hanya saja kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa kenikmatan, keelokan paras, harta benda dan kekayaan, dan semisalnya sebagai sebuah ujian. Wajah elok, kekuatan fisik, keturunan ningrat, ajengan, jabatan prestise, kekayaan, prestasi dan karya seseorang adalah karunia Allah sekaligus ujian.

Apakah manusia mau mengakuinya atau mengingkarinya. Jika manusia lupa semua itu sebagai kenikmatan dari Allah dan membanggakan dirinya maka itulah yang disebut ujub. Ujub adalah penyakit rohani berbahaya karena memalingkan dari syukur.

Ujub berasal dari kata “العُجْب” yang secara bahasa memiliki beberapa arti; Merasa gembira dan merasa baik, menarik, mempesona dan Merasa tinggi dan hebat.

(At-Taubah: 25) {ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولوأعجبتكم}.

“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)

Dalam istilah ulama akhlak ujub adalah perasaan senang, gembira dan bangga atas dirinya atau karena ucapan dan pekerjaan tanpa ada unsur melecehkan orang dalam bentuk tindakan nyata. Jika ada unsur tindakan yang melecehkan orang dalam tindakan nyata maka maka itu takabur.

Sebagian ulama menambahkan ujub diikuti oleh perasaan lupa dan lalai atas nikmat Allah yang dia banggakan. Ujub dilarang dalam Islam dan salah satu jenis syirik.

Ibnu Taimiyah: “Kebanyakan riya’ lahir karena ujub. Riya masuk syirik kepada Allah dan ujub masuk syirik terhadap jiwa (diri). Orang riya tidak menerapkan “iyyaka na’budu” orang yang ujub tidak menerapkan “iyyaka nastain”. 

Imam Al-Ghazali, “Ketahuilah bahwa ujub itu tercela di dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya Sallalahu Alaihi Wassalam. Allah berfirman, “Dan di peperangan Hunain, tatkala jumlah yang banyak telah membuat kalian bangga diri. Namun itu tidak memberikan manfaatkan kepada kalian.” (At-Taubah: 25) Allah mengecam sikap bangga diri merasa besar dan banyak jumlahnya padahal itu tidak memberikan manfaat apapun kepada mereka. 

Al-Qurthubi berkata, “Ujub adalah seseorang mengamati dirinya dengan persepsi kesempurnaan dengan melupakan nikmat Allah. Jika itu diikuti dengan menghinakan dan meremehkan orang lain maka itu takabur.”

Namun berpenampilan baik dan bagus secara fisik tidak selalu disebut bangga diri dan ujub jika itu semata-mata karena menjaga kebersihan dan kepantasan. Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Ada kesamaan antara narsis dengan ujub, baik dalam ilmu psikologi umum atau dalam psikologi Islam sama-sama dipandang sebagai penyakit kejiwaan seseorang. Keduanya sama-sama memandang sebagai fenomena kejiwaan yang bersifat negatif. Gejala-gejala narsis dan ujub yang disebutkan oleh pakar psikologi umum dan para ulama Islam juga hampir sama, meski sebagiannya masih merupakan gejala awal belum menjurus kepada ujub yang dilarang. Wallahu A’lam (Ahmad Tirmidzi)

Sumber :