Kaizen, Rahasia Keunggulan Manajemen Jepang Berbasis Nilai Leluhur

By : Wolio-Shopfloor Manajemen & Genba Kaizen Specialist.


Dunia berjalan dalam suatu proses transisi dari persaingan lokal menuju persaingan global yang kian ketat dan membutuhkan karakteristik unik multinasionalitas agar dapat bertahan didalamnya karena globalisasi selalu berujung pada kompetisi yang ketat dan terkadang diselimuti ketidakpastian.
Keunggulan manajemen Jepang yang berkarakter “cost-saving” dan "hi-quality" dalam menghadapi persaingan global tidak lebih karena penerapan manajemen yang baik yang diperoleh melalui kerja keras, terbuka dan mau belajar dari negara lain pasca kekalahan negara tersebut di PD-II tanpa mengabaikan identitas nilai kultur leluhur mereka.

Karakter yang menonjol yang menjadi sumber keunggulan negeri matahari terbit itu adalah tertanamnya “filosophy kerja kaizen”, yaitu keinginan untuk selalu melakukan perbaikan yang tidak pernah berakhir yang telah mendarah daging bahkan sudah merupakan cara hidup dikalangan masyarakat, pebisnis maupun pemerintahnya.

Kaizen Workshop event
Masyarakat Jepang menyadari bahwa setiap hari adalah tantangan baru yaitu perbaikan untuk perubahan lebih baik. Bahkan dikalangan pelaku bisnis dikenal memiliki moto sebagaimana yang dikatakan seorang pakar kaizen Massaki Imai, yaitu; “Engineers at Japanese plants are often warned, ‘There will be no progress if you keep on doing things exactly the same way’” (para insinyur di Jepang sering diingatkan akan sebuah moto, ‘Tidak pernah akan ada kemajuan jika anda mengerjakan sesuatu dengan cara yang sama dari waktu ke waktu).  Kaizen menganjurkan untuk tidak boleh diam karena, pembangunan berkelanjutan harus dimulai dengan perbaikan dari hal-hal yang kecil yang sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang. Tidak ada usaha yang kecil akan memperoleh hasil yang besar terkecuali usaha kecil tersebut di dilakukan sesering mungkin. 

Jadi tidak heran mengapa Jepang menjadi negara yang unggul dan sangat cepat melejit dalam segala hal, cukup matang menghadapi globalisasi, hebat dalam berkarya, mantap dalam kedisplinan, handal dalam menghadirkan produk yang unggul, konsisten terhadap nilai-nilai budaya leluhurnya dan percaya bahwa waktu adalah penentu segalanya. Filosofi yang dipegang penuh begitu menyatu dengan tekad kuat yang dimiliknya bahwa segala sisi dari kehidupan manusia sudah seharusnya berubah ke arah yang lebih baik dan kaizen hadir sebagai kunci keberhasilan pembangunan Jepang khususnya dalam industri yang berbasis teknologi.
Manajemen yang berbasis Kaizen saat ini begitu berkembang diterapkan di Jepang bahkan sudah merambat dan menjangkau luas kebeberapa negara lainnya di Eropa, Amerika dan di Asia. Diberbagai mas media di Jepang mulai dari koran-koran, radio, serta televisi hampir setiap hari diserang dengan pernyatan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pengusaha, pejabat pemerintah bahkan politisi seperti pernyataan mengenai kaizen tentang pertimbangaan perdagangan dengan negara-negara lain, kaizen tentang sistem kesejahteraan sosial dan kaizen tentang peningkatan kinerja perusahaan swasta dsb. 
Istilah "Kaizen" bersumber dari kontraksi dua karekter dalam bahasa Jepang yang berasal dari kata “Kai” yaitu "perubahan",  “Zen” yang berarti “lebih baik”. Jadi pengertian kaizen secara sederhana adalah usaha perbaikan/penyempurnaan secara kecil-kecilan dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua jajaran dalam level organisasi, dari manajemen tingkat atas/pimpinan sampai ketingkat bawah agar selalu lebih baik dari kondisi sekarang. Kaizen juga telah diterjemahkan oleh manajemen barat dengan “Continuous Improvement” dalam pengelolaan dan perbaikan proses di tempat kerja.
Di Jepang sendiri, pemahaman  kaizen bukan saja sebagai suatu sistem kerja yang telah menjadi bagian dalam manajemen Jepang, tapi juga sudah merupakan kultur kerja yang mengakar bahkan telah menjadi falsafah hidup yang bersumber dari budaya leluhur yang terbukti mampu mengantarkan masyarakatnya menjadi masyarakat dengan peradaban modern yang berbasis nilai budaya leluhur.

Awal keberadaan kaizen, didasari budaya leadership Jepang klasik yang bersumber dari kredo “bushido” dari kelompok kesatria Jepang yang dikenal dengan samurai, suatu kelompok dengan posisi semacam leader dalam masyarakat Jepang kuno yang menanamkan tujuh nilai leluhur  yang telah diterapkan sejak 1100 tahun yang lalu yaitu Chu (tugas dan kesetiaan) Gi (adil & bermoral), Makoto (tulus ikhlas), Rei (sopan santun), Jin (kasih sayang), Yu (keberanian heroik) dan Meiyo kehormatan).  

Sebagai suatu falsafah hidup masyarakatnya, pemahaman dan implementasi kaizen tidak saja diamalkan dalam kehidupan kerja di perusahaan maupun pemerintahan, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial, kehidupan rumah tangga, yang mengarahkan agar selalu berfokus pada upaya perbaikan terus menerus secara bertahap, sekecil apapun perbaikan itu pasti akan berguna. 
Pada awal abad ke-20, istilah kaizen perlahan mulai muncul dalam karya terbitan orang Jepang, namun kata itu belum digunakan secara luas pada masyarakat umum. Istilah Kaizen mulai berkembang di Toyota 1950 – 1960an, sebagai bagian dari strategi pengembangan dalam konsep Toyota Production System (TPS) yang diprakarsai oleh Taichi Ohno (mantan executive vice presiden Toyota Motor Jepang) yang menghasilkan orang-orang yang dapat menganalisis metoda kerja dan membuat perbaikan untuk meningkatakan kinerja proses yang mengutamakan kreatifitas ketimbang modal sebagai prioritas besar toyota saat itu.
Dominasi keunggulan manajemen toyoya yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS) yang berintikan kaizen, terbukti telah menghasilkan loncatan kinerja yang luar biasa sehingga menempatkan toyota menguasai industri otomotif dunia sehingga keberhasilan tersebut menarik minat industri lain diluar Jepang berlomba untuk mengadopsi penerpana metoda kaizen di berbagai negara termasuk termasuk di Indonesia. Hal ini juga telah memprakarsai munculnya konsep-konsep manajemen operasional yang sudah banyak dikenal seperti  konsep aliran Produksi Tepat Waktu (Just In Time), 7 Pemborosan (7 waste), 5S/5R (Ringkas, Rapih, Resik, Rawat, Rajin), sistem Kanban, Total Perawatan Terpadu (Total Productive Maintenance), 8 Langkah Proses Penyelesaian Terpadu (8 Steps Problem Solving Process)  dan yang lainnya. Keberhasilan penerapan pendekatan diatas telah terbukti banyak memberi konstribusi keunggulan yang ditunjukan oleh perusahaan Jepang lainnya seperti Honda, Nikon, Canon, Mitsubishi, Nissan dan lain-lain, termasuk dalam tatanan operasianal manajemen pelayanan publik di lingkungan pemerintahan Jepang.
Toyota  misalnya, sebagai nama besar dan ikon keberhasilan industri manufaktur dalam bidang otomotif Jepang yang berawal dari industri tekstil ini mampu menjelma dan mengembangkan produk otomotif komersialnya sebagai produsen mobil Jepang sekaligus yang terbesar dan tersukses hingga menjangkau seluruh pelosok didunia. Keberhasilan toyota dalam menerapkan pola perbaikan ala kaizen yang berkembang merupakan awal keberhasilan sistem produksi mereka yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS) atau di barat dikenal dengan istilah "Lean Manajement', telah dianggap sebagai salah satu praktisi utama yang paling terkenal berhasil dalam menerapkan  sistem kaizen yang terintegrasi dengan budaya organisasi yang revolusioner melalui pola 4P (Philosophy, People, Process dan Problem solving). 
Penerapan kaizen di lini produksi Toyota pada awalnya sangat memungkinkan setiap pekerja dalam mendeteksi kerusakan yang terjadi secara otomatis dengan mudah, lalu menghentikan seluruh jalur perakitan untuk kemudian memperbaiki cacat yang terjadi, sembari mengidentifikasi akar permasalahannya dengan menggunakan mentoda pendekatan Plan-Do-Check-Action (PDCA) yang bersumber dari teori Deming. Pertemuan-pertemuan dalam satuan kerja kelompok kecil di mana karyawan mengetahui masalah di tempat kerja yang sebenarnya dapat memberikan saran kepada manajemen tentang cara meningkatkan efisiensi seperti waktu siklus (cycle Time), waktu ancang ancang (lead time) untuk memenuhi waktu pacu (takt time) yang telah ditentukan untuk menjamin jadwal permintaan pelanggan dalam kontek internal (didalam jalur produksi) maupun pelanggan external (pembeli).
Sejalan dengan visinya, strategi kaizen di toyota diarahkan pada aspek apa yang paling penting untuk meningkatkan kinerja yaitu  kualitas (quality), biaya (cost) dan pengiriman (Delivery), tidak lain hanya untuk memuaskan pelanggannya. Aspek kualitas tidak hanya  berkaitan dengan kualitas produk jadi atau jasa layanan, namum juga kualitas dari proses yang menghasilkan produk maupun jasa layanan. Biaya terkait dengan biaya keseluruhan sejak dari merancang, menjual, memelihara produk dan jasa layanan, sedang aspek penyerahan (delivery) adalah menyerahkan produk atau jasa layanan dalam jumlah dan waktu yang tepat.  Toyota meyakini benar, apabila ketiga kondisi yang dirumuskan dalam hal yang menjadi sasaran kaizen tersebut terpenuhi maka konsumen akan terpuaskan.

Untuk mewujudkan ketiga aspek diatas, metoda kerja dan sumberdaya yang meliputi tenaga kerja, informasi, peralatan dan material harus dikelola dengan tepat yang pengelolaannya membutuhkan standar. Untuk menjamin standar yang baik, setiap kali terjadi masalah atau ketidakwajaran harus dilakukan identifikasi untuk mengetahui akar permasahan yang timbul dan segera ditanggulangi dengan cepat, sekaligus mengubah standar yang ada dan selanjutnya  menerapkan standar baru serta mencegah terjadinya suatu permasalahan yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian standar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kaizen sebagai dasar dari perbaikan berkesinambunagan yang dilakukan sehari-hari.

Awal penerapan filosofi kaizen dalam mengoptimalkan kinerja TPS, peran kaizen sangat serius mengarahkan seluruh karyawan untuk melihat bahwa tidak semua kerja bernilai tambah, oleh sebab itu elemen kerja yang tidak memiliki nilai tambah harus diperangi karena akan berdampak pemborosan yang dikenal dengan Mura (ketidakseimbangan proses kerja), Muri (kelebihan beban kerja) dan Muda yang merupakan 7 pemborosan ("7 waste") yang harus dihilangkan meliputi ; 1) produksi berlebihan (overproduction), (2) persediaan berlebihan (excess inventory), (3) sisa bahan dan pengerjaan ulang (scrap and rework), (4) waktu tunggu (waiting time), (5) pengangkutan berlebih (excess conveyance), (6) gerakan berlebihan (excess motion) dan (7) pemprosesan berlebihan (overprocessing). Ketiga fenomena diatas merupakan  rintangan yang berpotensi menghambat produktifitas proses produksi dan terciptanya qualitas produk yang baik.
Oleh karena ketujuh pemborosan diatas awalnya diterapkan di Toyota, seiring dengan perkembangannya banyak perusahaan yang merubah atau menambahkan kemungkinan bentuk pemborosan yang berpotensi muncul sesuai dengan kondisi masing-masing, misalnya saja kegagalan memanfaatkan potensi sumberdaya manusia, sistem dan prosedur yang tidak efisien, banyaknya energi yang terbuang dengan sia-sia, pelayanan yang tidak efisien, lamanya menunggu dokumen tiba maupun diproses atau berkenaan dengan kesalahan dalam dokument atau transaksi dan sebagainya adalah merupakan hal-hal yang sering ditemukan dan ditambahkan.
5S Implementation
Dalam berbagai kasus ketika seorang karyawan belum menemukan potensi perbaikan maka memulai dengan konsep dasar kaizen yang dikenal dengan 5S adalah ide yang terbaik, Konsep ini menggunakan 5 kata bahasa Jepang yang berawal huruf S yaitu ; seiri (ringkas), seiton(rapih), seiso(resik), seiketsu(rawat) dan setsuke (rajin). Konsep 5S lebih sekedar penanaman disiplin ditempat kerja yang berpotensi dapat menemukan peluang untuk melakukan perbaikan. Konsep 5S sekarang telah menjadi benchmark  yang paling populer ditatanan perusahaan maupun pemerintahan
Tatkala Toyota mengelola fasilitas produksi General Motor perusahaan otomotif terbesar Amerika di Freemont - California yang telah tutup, tidak perlu melakukan perombakan besar-besaran dalam mengadopsi "best practice ala Toyota", tapi justru melakukan perubahan incremental layaknya filosofi kaizen yang keberhasilannya telah menjadi pemicu untuk meyakinkan industri otomotif Amerika sehingga manajemen berbasis kaizen  mendapat perhatian para analis manajemen di negara itu, lebih-lebih melihat perkembangan yang pesat ekonomi jepang yang kerap kali merepotkan hegemoni negara-negara barat dalam percaturan ekonomi global.
Seiring dengan perkembangan waktu dan dominasi pendekatan serta keberhasilan penerapan sistem perbaikan ala “kaizen” yang sebelumnya hanya diterapkan dan menjadi rahasia keberhasilan manajemen Jepang kini telah menarik dunia barat dan beberapa negara lainya di Asia.  Indikator inilah yang telah memicu banyaknya pihak diluar Jepang yang berlomba-lomba mempelajari bagaimana implementasi manajemen  kaizen yang sebenarnya di negeri matahari terbit tersebut.
Tulisan ini, bukan untuk mengatakan bahwa cara "kaizen" adalah akhir dari semuanya untuk menjadikan solusi dalam memperbaiki semua masalah ekonomi maupun sosial saat ini, tetapi merupakan awal yang baik untuk memecahkan beberapa permasalahan subtansial. Adalah wajar jika tidak sedikit dari yang membaca tulisan ini akan bertanya khususnya kepada meraka yang berperan sebagai pembuat keputusan dalam suatu organisasi baik organisasi bisnis maupun pemerintahan ada yang akan bersenandung dengan mengatakan ; apa mungkin budaya kaizen termasuk  proses manufaktur Toyota akan berhasil dilakukan dengan cara saya menjalankan perusahaan atau pemerintahan ditempat saya?

Beberapa orang akan mengatakan segalanya dan juga tidak sedikit yang akan mengatakan "tidak". Bahkan bagi mereka yang berasal dari instansi pemerintahan secara tegas akan bertanya ; apakah kaizen dapat diterapkan di pemerintahan? maka jawabannya, kaizen adalah suatu pendekatan yang berorientasi pada pendekatan manusiannya (personal approach) untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan dan merubah kultur organisasi menjadi lebih baik. Bukankah hal tersebut juga sangat dibutuhkan dalam pengelolaan manajemen pemerintahan.
( Hasmina Syarif *** )